UPACARA
KEMATIAN DI MINANGKABAU
Upacara kematian di dalam adat Minangkabau adalah
suatu persembahan terakhir kepada orang yang meninggal. Upacara kematian tidak
hanya menjadi adat di dalam adat Minangkabau melainkan juga kewajiban bagi
seluruh umat Muslim di dunia.
Upacara
kematian dapat dibedakan sebagai berikut:
a.
Memandikan
jenazah
Memandikan jenazah adalah kegiatan yang melambangkan agar
jenazah bersih dari segala hadas, kotoran, dan dosa-dosa yang dilakukan semasa
jenazah hidup.
b.
Menyolatkan
jenazah
Adalah persembahan shalat terakhir bagi jenazah yang
dilakukan secara berjamaah. Shalat terakhir ini ditujukan kepada jenazah
sebagai wujud kegiatan keagamaan terakhir bagi jenazah.
c.
Mengantarkan
jenazah ke liang lahat
Ritual ini sama halnya dengan memakamkan jenazah ke dalam
liang lahat, dan disaksikan oleh orang-orang yang mengantarkannya. Ritual ini
juga ditujukan kepada orang-orang yang menyaksikan prosesi memakamkan jenazah
agar yang menyaksikan selalu mengingat kematian.
d.
Ta’ziah
Pergi melayat (ta’ziah) ke rumah orang yang
meninggal merupakan adat bagi orang Minangkabau. Tidak hanya karena dianjurkan
ajaran Islam, tapi juga karena hubungan kemasyarakatan yang sangat akrab
membuat mereka malu bila tidak datang melayat.
e.
Peringatan
Selanjutnya ada
pula acara peringatan, seperti peringatan tujuh hati (manujuah hari), peringatan duo puluah satu hari, peringatan hari ke-40, lalu peringatan pada hari
yang ke-100 (manyaratuih hari)
Slogan ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’,
adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran), selalu menjadi
pegangan jika kita berbicara mengenai adat dan agama pada masyarakat Minang.
Adat dan agama seakan tidak dapat terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat
Minang, karena keseharian perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Minang pada
umumnya sangat berkaitan dengan agama Islam pula.
Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang
terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma,
ritus, dan seremoni]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan
bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial,
melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga
merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang
sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya.
Dengan menggunakan konsep religious effervescence yang
dikemukakan oleh Durkheim, terlihat bahwa masyarakat Minang menciptakan ritual
upacara kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Ritual upacara bagi orang
yang telah meninggal dunia merupakan wujud persembahan orang-orang yang sedang
hidup kepada orang yang telah meninggal dunia. Prosesi upacara kematian dapat
terlihat dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas. Selanjutnya,
dengan adanya ritual yang sengaja diciptakan tersebut, upacara kematian, maka
muncul collective counciousness, kesadaran kolektif, kepada setiap
masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Collective counciousness dalam prosesi upacara kematian dapat
terlihat ketika pertama kali mayat dimandikan. lalu kesadaran kolektif tersebut
semakin terlihat ketika memasuki prosesi dishalatkannya jenazah, menggotong
jenazah hingga menguburkannya, menyaksikan penguburan jenazah, ta’ziah, serta
peringatan yang diulang di hari ke 40, hari ke 100.
UPACARA
KEMATIAN DI YOGYAKARTA
Untuk
kraton Yogyakarta menutut tradisi mataram : kematian tidak dtangisi, dan
imogiri
Bukan merupakan
makam namun dinamakan atau suwargi orang jawa menyebutya penghuni surga.
Upacara pelepasan jenazah maksudnya memperingati kepergian yang akbar seperti
dalam upacara pengatin. Dalam masayrakat jawa yang namanya lahir, pegat dan
mati merupakan sesuatu yang sacral, maka selalu diperingati dengan
seindah-indahnya. Khusus acara kematian di dalam kraton berlaku 5 jenis gatra
ritual yaitu :
1.
Tata cara majapahit atau pra-islam
2.
Tata cara demak pajang
3.
Tata cara perwalian atau wali Allah di jawa
4.
Tata cara kalang sepuh
5.
Tata cara mataram selingkar keturunannya.
Tata cara majapahit menyangkut sesaji yang ditujukan pada orang yang
sakit sampai merawat jenazah sebelum dikubur. Hanya pada tata cara perawatan
jenazah diberi balsem dan ditunggu samapi 100 atau 1000 hari. Jiak utuh dan
awet, mayat itu dibusanani dengan busana kerajaan. Namun jika rusak, maka
jenazah itu dikafani. Uborampe atau sesaji orang yang sakit sampai perawatan
jenazah manganut upacara kuno dengan memanggil dukun , pini sepuh dan ulam
untuk tahlilan sebelum dibacakan matra-mantra.
Tata cara demak atau pajang menurut tata cara dipini dalam melakukan
perwatan jenazah dengan tata cara keislaman mulai dari mensholatkan samapi
penguburan jenazah di lingkungan kerajaan islam di jawa.
Tata cara perwalian atau wali allah berbeda dengan tata cara di saat
sunan giri, sunan, bonang, sunan kudus, dan sunan kalijaga. Di masa ini
mengguanakan tata cara rakit dalam model tarekat syah abdul kadir, jailani,
Nasabariyah, Nasabandiyah dan Safi’iyah.Sunan kalijaga tidak mengenal tahlilan
akan tetapi disebut ageman yaitu dikuburan jenazah atau pesan-pesan almarhum
digubah.
Tata
cara mataram adalah membentuk peubahan baru dan tradisi kuno Pra-Islam dalam
aroma kultur jawa. pembusanaan jenazah raja dan putra dengan busana kebesaran.
Dalam tata cara
mataram upacara perawatan jenazah dipimpin oleh raja atau pangeran tertua atas
nama raja. Juga uborampenya menyesuaikan bentuk yang ada. Di dalam pranata jiwa
kalau si sakit cukup lama atau tidak ada harapan untuk sembuh si sakit dibawa
ke imogiri diruang pajimatan yang kemungkinan akan meninggal. Orang yang
merawat adalah ulama atas nama raja. Selama raja berkuasa tidak boleh
mengunjungi ke imogiri.
Pelaksanaan upacara kematian ini terdapat berbagai perlengkapan kegiatan
yang dalam garis besarnya :
1.
Perawatan jenazah (uborampe panguptining layon)
2.
Pemakaman jenazah (uborampe panguburing layon)
Perawatan jenazah dimulai semenjak seseorang benar-benar meninggal dunia.
Kerabat dan orang lain yang kebetulan menyaksikan saat meninggalnya segera
mengatur posisi tubuh mayat, (menyilangkan tangan jenazah ke dadah, tangan
kanan diletakkan diatas tangan kiri, kelopak mata dirapatkan, dagu ditekan agar
mulut terkatup, kedua kaki diluruskan sejajar serta dihadapkan ke arah kiblat.
Dibujurkan ke utara (mujur ngalor) menyerong ke barat sedikit (ngulon sithik)
ditutup rapat (diluruskan dengan kaki (jarik), serta dipasang sebuah pelita dan
tempat pembakaran kemenyan dekat pembaringan hal ini dilakukan agar tidak
terlanjur kaku. Saatnya untuk dimandikan , anak saudara menunggu agar tidak ada
ganguan sementara itu kegiatan lainnya mulai dilaksanakan, misalnya menyebar
berita duka, penggalian kubur, perlengkapan memandikan jenazah dan
lain-lainnya. Mengenai lokasi penggalian tergantung pada saat meninggalnya
sedang mengenai lokasi penggalian liang lahat biasanya tidak disebelah atas
(utara/ makam yang lebih tua atau leluhur. Bila pantangan in dilanggar akan
menimbulkan hal-hal yang kurang baik terutama si roh mati.
Uborampe yang berhubungan dengan upacara misalnya bangsal sri manganti
digunakan untuk membaringkan jenazah dan didekatnya dihidupkan alatar,
blencong, air kembang seramah, hiding-hidangan yang merupakan kombinasi dari
sumber-sumber khasanah flora dan fauna jawa yang berbentuk bahan pajangan dan
bahan pangan.
Selama disemayamkan dibunyikan gending mutur yaitu gending-gending yang
mengambarakan tangisan hati dan menggunakan gamelan menggang.
1.
Upacara memadikan jenazah
Bagi
golongan bangsawan , tradisi mengenai perawatan jenazah mulai dari meninggal,
memandikan, membungkus, menyembahyangkan hingga pemakamannya mempunyai
kekhususan tersendiri. Antara jenazah seoarang raja dalam menyemanyakan dengan
jenazah putra mahkota, permaisuri, permasuri putera raja, selir-selir dan
pelara-pelara. Untuk raja disemanyamkan di bangsal prabasuyata sebelum
dimandikan. Perbedaan perawatan dengan selain raja adalah :
Apabila yang
meninggal seseoarang permaisuri atau putra mahkota, maka upacara memandikan
dari menghias jenazah dilakukan di tratan (serambi) prabasuyata, sesudah
selesai jenazah disemayamkan di bangsal seperti halnya seorang raja. Sedangkan
untuk para selir ( pelara-pelara) dan putera yang belum kawin, upacara siraman
dan mbu sanani dilakukan di bangsal pengapit, lanjutnya jenazah disemayamkan
dibangsal manis hingga pada saat pemberakatan pemakamannya. Bagi seseorang yang
meninggal sebelum kawin ada syarat tamabahan yang harus dilengkapi yaitu batang
pohon pisang dan gagar mayang yang dibuang di peremapatan jalan.
Bila
seseorang raja mangkat (surut dalem) karena usia lanjut bukan karena penyakit,
jenazah dipangku oleh anak dan cucu laki-laki, bila yang mangkat permaisuri,
maka anak dan cucu puterilah yang memangku.
Tempat untuk menyirami bisanya ditutupi dengan kain putih
sekelilingnya atau kain biasa yang baik, sedang penutup bagian atas digunakan
kampuh atau kain panjang. Bila yang meninggal seorang raja maka upacara nitaman
dipimpin putera tertua yang hendak menggantiakan kedudukannya. Perlengkapan
sirangan ini meliputi :
1.
Air tawar (air sumur bersih) ditempatkan dalam tempayan
2.
Air landha merang untuk keramas (cuci rambut)
3.
Air asam (air tawar dicampur asam lumat) juga untuk
keramas.
4.
Air asin (air tawar campur garam)
5.
Air wangi (air tawar dicampur wewangian atau minyak
cendana)
6.
Merang (tangkai padi kering yang telah diptong-potng)
untuk membersihakn kuku.
Agar
benar-benar bersih tubuh jenazah boleh dimiringkan kekanan atau kekiri.
Menjelang selesai siraman, jenazah didudukan untuk disiram tiga kali dari arah
kepala.
2.
Upacara membungkus jenazah
Setelah jenazah dimandikan dengan sempurna kemudian diangkat
ketempat yang telah ditentukan dan disitulah jenazah pada hakekatnya sama
dengan rakyat biasa, hanya saja bahan-bahan yang digunakan biasanya lebih
unggul.mengenai jumlah kain kafan harus ganjil, rangkap tiga, lima, atau tujuh.
Kemudian kapas-kapas yang diberi minyak cendana untuk menutup bagian badan yang
lemah dan lekas membusuk2 .
Sementara itu peti jenazah telah disiapkan yang antara lain
diberi alas tikar, bantal dengan kain yang sama atau putih berisikan daun
kemuning dan daun pandan ( memliki khasiat atau menghilangkan bau busuk).
Setelah itu jenazah yang telah selesai pembukusannya, dimasukan dalam peti
dengan posisi agak miring kekanan atau arah kiblat ditopang dengan tujuh
bulatan tanah atau gulu, sebelum ditutup pelayat diberi kesempatan untuk
melihat dan mendoakan , tetapi berurutan. Setalah peti ditutup, lalu
diletekakan diatas balai-balai membujur ke arah utara. Rangkaian perhiasan
berupa bunga-bunga ini dibenahi , dimaksudkan selain menghormati si mati juga
untuk menghilangkan bau busuk.
3.
Menyembahyangkan jenazah.
Penyembahyangkan
jenazah di tiga tempat yaitu :
1.
Masjid di panepen untuk Menyembahyangkan jenazah raja
yang dilakukan oleh para putera-puteri dan cucu raja dipimpin oleh ulama.
2.
Pembacaan doa-doa dimasjid yang dipimpin oleh kyai
penghulu.
3.
Upacara dimakam yang dilakukan oleh pengageng juru
kunci.
Demikan halnya dalam menshlotkan jenazah di kalangan
bangsawan sama sebagaimana Menyembahyangkan jenazah pada umumnya. Khusus untuk
bangsawan, upacara ini dilaksanakan oleh abdi dalem kraton suronoto, dipimpin
oleh kyai penghulu kraton atau pengulan. Smentara itu ada petugas yang memasang
perdupaan didekat kaki jenazah dan secara bergantian istri , anak-anak serta
kerabat dekat memasukan kemenyan atau ratus-ratus ke dalam perdupaan tersebut
agar terus mengeluarakan asap harum.
4.
Upacara pemakaman
Uborampe yang berhubungan dengan upacara pemberangkatan jenazah
diantaranya yaitu kentongan masjid, kendi yang yang terbuat dari tanah, sapu
lidi, beras kuning, dan uang recehan serta kembang setaman. Sedangkan upacara
bubak dalan yaitu pemukulan kentongan, penyebaran beras kuning, air kendi
dijalankan oleh paro kyai atau perempuan uzur atau perempuan yang sudah
melewati masa menstruasi. Semua ini untuk mengawali pemberangkatan ke Imogiri
(perlengkapan yang bersifat cucuking lampah).
Komposisi dan
konfigurasi peserta upacara.
1.
Bila raja meninggal dunia maka pimpinan upacara berada
di tangan pepatia dalem danurejo sebagai perdana mentri kesultanan atau wasir
yang mengepalai sekuruh unit pemakam sampai seratus harinya. Sesepuh atau
pimpinan upacara tidak mengikuti ke makam. Untuk undangan raja atau bangsawan
menjadi tanggung jawab residen Belanda di Jawa.
2.
Apabila permaisuri, putra mahkota atau adipati anom
meninggal dunia maka sultan menunjuk tim khusus untuk menyelenggarakan upacara
pelepasan jemazah.
Dalam upacara pelepasan jenazah raja tidak ada master seremoni atau
protocol Cuma yang biasa dilakukan pengaturan secara lisan. Kemudian dalam
upacara pemberangkatan dan tuguran ( berjaga semalam suntuk) dipimpin oleh
penghulu agung kerajaan yang didampingi oleh suranata, putihan dan abdi dalem
pemetaan serta sepenuhnya dibantu oleh abdi dalem petilasan atau pengulon.
Sementara perabot dan penghulu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1.
Penasehat ritual keagamaan menjadi tugas penghulu agung
2.
Penghulu masjid kraton yang berada di mlangi (masjid
keratin atau patok negoro)
3.
Penghulu kraton yang berada di ploso.
4.
Penghulu masjid kraton yang berada di wonokromo
Seluruh koordinasi masjid local dan regional mendapat pembiyaan dari
kraton. Sedangkan penghulu bertanggungjawab pada masing-masing masjid dan juga
bertanggungjawab kepada sultan. Perlekapan atau property pemakaman jenazah
biasanya menggunakan kereta kerajaan atau kereta jenazah yang biasa digunakan
oleh para raja di kawasan setempat.
Kalangan bangsawan kraton Yogyakarta mempunyai tiga tempat pemakaman
yaitu : makam Imogiri Bantul, makam Hastorenggo dan Girigondo di kotagede.
Khusus untuk pemakaman raja tau sultan ditempatkan di Imogiri. Upacara pemakaman
bagi kalangan bangsawan memang berbeda dengan upacara pemakaman rakyat biasa
tetapi inti upacaranya sama, misalnya dalam hal upacara Mbrobosan, cara
menurunkan peti jenazah posisi dalam liang lahat dan pembacaan doa bagi
jenazah. Apabila yang mengangkat raja atau sultan, menjelang pemakaman para
anggota keluarga dan segenap punggawa abdi dalem berkumpul ditempat-tempat yang
tidak sama. Para putra putri berkumpul di dalam (istilah ruang dalam). Prajurit
pesisiran yaitu pegawai kraton, pegawai kesultanan berkumpul di pintu gerbang
pintu mlati. Sedang para abdi dalem ponakawan dan perintah luhur berada di
halaman kraton. Selanjutnya abdi dalem lainnya yaitu abdi dalem penghulu siap
di bangsal Sri manganti. Abdi dalem jawi berada di bangsal ponconiti. Setelah
tiba saatnya diberangkatkan, biasanya antara jam 10.00 WIB, jenazah segera
diangkat keluar istana lewat gerbang istana. Peti diangkat oleh putra putri,
cucu, dan para sentana (sanak keluarga) dengan bantuan para prajurit. Sebelum
keluar dari pintu gerbang selatan sejenak dihalaman kraton, diadakan sumurup
(Brobosan).
Peti dibujurkan ke arah timur, selanjutnya putra putri dan cucu-cucu
mengusun dibawah peti tiga kali.
Upacara in memberi pengertian kepada putra-putri, cucu-cucu yang
ditinggal pada akhirnya akan dipanggil tuhan juga. Sesudah selesai, jenazah
dipikul dan dipanyungi menuju kereta atau mobil. Payung dihiasi dengan bunga
melati atau hiasan lainnya. Demikian juga kereta, dihiasi dengan untaian melati
ata rance. Kereta jenazah yang biasanya ditarik dengan delapan ekor kuda dan
melewati kawasan pedesaan, sedangakan jika melewati perbukitan maka yang pernah
dulu dilaksanakan kereta itu ditarik dengan lembu atau kerbau. Misalnya sewaktu
meninggal Sri Paku Alam V di Girigondo sedang pengiring pakai kuda tunggang.
Ratanan laku atau petunjuk-petunjuk umumnya telah ada dalam buku yang ingin
memberikan penghormatan permaisuri atau keturunannya. Hal- hal lain yang
berhubungan dengan upacara adalah jika raja atau putra masih bersatus jejaka
atau perawan berada di depan iring-iringan jenazah dibawa dua geligir gagar
mayang sebagai penghormatan terhadap bangsawan yang berstatus perjaka atau
perawan tersebut. Sanak keluarga si mati kebanyakan mengenakan pakaian warna
hitam namun ada juga yang mengenakan pakaian warna ungu seringkali pelayat
diberi selawat atau uang yang dibungkus dengan kain putih sebaliknya uang tadi
dipergunakan untuk membeli korek api atau minyak tanak. Demikan menurut
kepercayaannya selama dalam perjalanan disebarkan sawur (berisi beras kuning
yaitu beras dicampur kunir dan kembang telon, mawar melati dan kenanga,
kemudian uang dan lintingan sirih). Sawur ini disebar terutama dipertigaan atau
perempatan jalan yang dilalui masayarakat yang kebetulan bertemu dengan
iring-iringan jenazah. Iringan-iringan ini biasanya berhenti atau turun dari
kendaraannya sampai iring-irngan berlalu, topi, payung dan penutup kepala
lainya akan mereka tanggalkan sebagai penghormatan. Namun ada pula pedagang
yang melemparkan uang mereka dengan harapan usaha mereka berhasil dan
sebagainya.
Sesampainya di pemakaman, pengurusan selanjutnya ditangani abdi dalem
juru kunci. Upacara ini diawali dengan pemberian penghormatan kepada jenazah
oleh para sanak keluarga maupun abdi dalem dengan cara berbaris di kanan-kiri
jalan yang akan dilalui jenazah. Sebelum memasuki makam Imogiri diistirahkan
untuk sementara di paseban. Biasanya penghulu membacakan doa. Petugas formal
untuk mengkebumikan jenazah raja adalah pepatih dalem yang pelaksanaan
teknisnya samapi 8 orang bertugas mengerek peti, yang biasanya dibantu 2 orang
dimulut liang lahat, kedalam liang lahat seyogyanya sededeg-pengawe atau
setinggi orang yang berdiri sambil mengacungkan tangannya. Setelah ada
peletakkan peti, petugas adzan dilanjutkan dengan Iqomah dan membacakan takqin.
Selanjutnya cepuri atau karas (bagian dari liang kubur) Ditutup dengan papan
atau batu, untuk kemudian mulai ditimbun dengan tanah. Para pengiring jenazah
terutama kerabat dekat yaitu dengan melemparkan masing-masing dengan 3 gengam
tanah ke liang kubur. Orang yang pertama kali melempar tanah mengucapkan “siro
kabeh pada ingsun dedeake saka ing lemah” (Atau kamu semua kami jadikan dari
tanah). Pelempar kedua mengucapkan “lan siro kabeh ingsun balake dadi lemah
(dan kamu semua kembali menjadi tanah)”. Pelempar ketiga mengatakan “siro kabeh
bakal insun wetoke soko ing lemah (kamu semua akan dikeluarkan dari tanah).
·
selamatan sesudah pemakaman
Dalam
upacara kematian yang masih dilaksankan dikalangan bangsawan khususnya
upacara-upacara sesudah pemakaman biasanya disebut selametan atau wilujengan
yang maksudnya untuk keselametan baik untuk roh si mati supaya diterima di
akhirat nanti, maupun untuk keluarga yang ditinggalkannya.
ada
beberapa perbedaan antara selametan antara kaum bangsawan dengan rakyat biasa
yang sesungguhnya tidak prinsip. seperti dalam masyarakat biasa, wadah atau
tempat makanan yang digunakan adalah berasal dari daun pisang atau takir
pisang, sementara pada kaum bangsawan menggunakan kertas atau kain putih,
sehingga tampak lagi bahwa lebih mewah dalam menghidangkan makanan dan
sesajian. ada dua macam disini yaitu sesajen wilujengan untuk dihidangkan
hadirin dan sajen untuk sir oh mati.
Rangkain
upacara-upacara ini umumnya meliputi :
1.
soartanah (pada hari yang sama dengan pemakaman)
2.
Nelung dino (tiga hari dari meninggalnya)
3.
Pitung dino (tujuh hari dari meninggalnya)
4.
Matang puluh dino (empat puluh hari dari meninggalnya)
5.
Nyatusdino (seratus hari dari meninggalnya)
6.
Mendak pisan ( 1 tahun dari meninggalnya)
7.
Mendak pindho (2 tahun dari meninggalnya)
8.
Nyewu dino ( seribu hari dari meninggalnya)
ketetapan waktu
penyelenggaraan upacara selametan selalu diperhitungkan dengan amat teliti,
terutama didasarkan pada hari, pasaran, bulan, dan tahun. menurut perhitungan
jawa.Dari soartanah sampai mitung dino masih mudah menghitungnya tetapi mulai
matang puluh dino atau empat puluh harinya hingga selanjutnya memerlukan
perhitungan khusus, menurut kepercayaan mereka apabila tidak tepat, maka tujuan
yang ingin dapat dicapai dengan penyelenggaraan upacara selametan tersebut
tidak tidak memnuhi harapan. adapun perincian upacara selametan tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Soartanah maksudnya menggusur tanag yaitu tanah yang
dipakai untuk memakamkan jenazah. maknanya dengan selametan ini agar arwah atau
roh si mati mendapat jalan yang terang dan tempat yang lapang. materi yang
disajikan : tumpeng yaitu nasi dibentuk kerucut asahan diatas rempah lengkap
dengan lauk pauk jangan adem atau sayur adem. pecel dengan sayatan daging ayam
goreng atau panggang, sambel dongseng dengan kedelai yang terkelupas. jangan
menir kerupuk dan rempeyek. satu hal yang penting dalam hal ini adalah tumpeng
yang harus dibelah dua dan ditaruh dalam posisi bertolak belakang terkenal
dengan saburan tumpeng pengkur atau ungkur-ungkuran.hal ini sebagai lambang
anatra si mati dengan keluarga yang ditinggalkan. juga agar kedua belah pihak
mendapat keselamatan. pelaksanaan soartanah ini adalah setelah pemakaman. boleh
siang atau malam hari. pimpinan upacara dalam hal ini adalah mudin selaku pimpinan
dan pemabawa doa, selain menerima bagian berkat juga menerima uang wajib
sekadarnya. sedang sesajian untuk si roh mati berupa nasi sepiring utuh atau
sayo sak kenong, dua bulatan nasi golong, kembang setaman, dupa atau kemenyan,
ubur merhah putih dan lampu seatir ditemaptkan di dalam rumah tertentu.3
2.
nelung dino atau tiga hari
pelaksanaan di
siang hari yang dihadiri tetangga dan ahli waris. materi yang dihidangkan yaitu
: takir pontang yang berisi nasi kuning atau sego punar dan nasi putihdengan
lauk pauk daging srundeng gambingan, kecambah, kacang pangjang, yang telah di
potong-potong, irisan brambah dan irisan apem. semuanya di taruh di sudi (dari
daun pisang) selain itu juga nasi asahan dengan lauk pauk daging goreng, jangan
menir, dan sambal santan.
3.
pitung dino menujukkan dilaksanakan berselang tujuh
hari setelah pemakaman Cuma waktu siang hari dan dihadiri oleh kerabat dan
tetangga, materi yang dihidangakan berupa apem, ketan dan kolak dalam takir
serta nasi asahan dengan lauk pauk daging goreng, pindang, jerohan dan krupuk.
sedang maksud dan tujuan masih sama dengan telung dino. begitu pula sesaji
untuk oh si mati.
4.
matang puluh dino dilaksanakan 40 hari sesudah
pemakaman, boleh siang, sore namun biasannya pada malam hari dan diundang para
santri, materi yang disajikan sama dengan pitung dino.
5.
nyatus dino. rangkain upacara selametan hampir sama
dengan rangkain upacara selametan matang puluh dino.
6.
mendak pisan. yaitu setiap satu tahun upacara. materi
hidangan maupun ujub sama dengan matangpuluh dino.
7.
mendak pindho. setiap 2 tahun semua rangkain upacara
selametan juga sama dengan matang puluh dino.
8.
nyewu dino pada umumnya upacara ini merupakan upacara
terakhir yang wajib dilaksanakan dalam rangkain upacara selametan yang keseribu
setelah kematian. penyelenggaran lebih besar dari upacara selametan sebelumnya.
sedang mengenai materi hidangan tetap sama seperti rangkain upacara selametan
sebelumnya. dengan tambah daging kambing yang disembelih sendiri. sebelum
disembelih kambing dimandikan dengan air kembang setaman dan rambutnya
dikeramas dengan air lada, dan tubuhnya diselimuti dengan kain putih di kalungi
dengan untaian bunga dan diberi makam daun sirih makanannya. makna yang sudah
ditangkap mereka adalah sebagi pikiran kendaraan orang yang meninggal.
perlengkapan yang harus disediakan pada upacara selametan ini yaitu : tikar
pandan, kaca kecil, kapas, kemenyan, dua sisir pisang raja, gula kelapa,
sebutir kelapa satu takir beras, buanga dan boreh. perlengkapan ini semua
ditaruh dalam wadah dan disajikan di tempat kenduri yang nantinya menjadi
baguian para santri kecuali para santri itu menerima berkat. isi ujub dan
uborampe lain tetap sama dengan ketika matang puluh dino.
PERBEDAAN
UPACARA YANG ADA DI MINANGKABAU DENGAN YOYGAKARTA
ADAT
PERNIKAHAN
1.
ketika pelamaran pada adat minangkabau
pihak perempaunlah yang melamar pihak lelaki sedangkan adi adat yogyakarta
tidak.
2.
Setelah pernikahan selesai di
Minangkabau terdapat pemberian gelar kepada pengantin pria sedangkan di
Yogyakarta tidak.
ADAT
MENANTIKAN KELAHIRAN ANAK
Di Yogyakarta
terdapat banyak adat yang harus dilakukan sedangkan kalau di Minangkabau hanya
adat mambubu saja.
ADAT
KELAHIRAN
Di
minangkabau hanya di lakukan pada saat bayi berumur 40 hari sedangkan kalau di
Yogyakarta dilakukan pada saat bayi lahir, 5 hari, 35 hari dan 7 bulan.
ADAT
KEMATIAN
Di Minangkabau adat kematian hanya dilakukan sesuai
ketentuan islam, sebenarnya Yogyakarta juga begitu tapi ada sedikit perbedaan
karna Yogya melakukan rangakaian adat lagi yaitu:
1.
soartanah (pada hari yang sama dengan pemakaman)
2.
Nelung dino (tiga hari dari meninggalnya)
3.
Pitung dino (tujuh hari dari meninggalnya)
4.
Matang puluh dino (empat puluh hari dari meninggalnya)
5.
Nyatusdino (seratus hari dari meninggalnya)
6.
Mendak pisan ( 1 tahun dari meninggalnya)
7.
Mendak pindho (2 tahun dari meninggalnya)
Nyewu dino ( seribu hari dari meninggalnya
Sumber